Sabtu, 25 Oktober 2008

Massage Untuk Mencegah Decubitus

Peningkatan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, pasien yang sangat lemah dan pasien yang lumpuh dalam waktu lama akan beresiko tinggi memunculkan dekubitus pada pasien tersebut yang merupakan penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Adapun hal lain yang menunjang dekubitus sebagai penyakit yang harus dicegah perkembangannya yaitu biaya tinggi akibat penyembuhan luka, lamanya waktu hospitalisasi yang akan dilalui oleh pasien, dan yang terburuk adalah pasien meninggal akibat septicemia.
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5-9,4 % dari populasi umum orang dewasa dirawat di rumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit. Pada populasi pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, insidens dekubitus dapat menjadi jauh lebih tinggi. Meskipun pencegahan dan pengobatan dekubitus telah diteliti secara luas lebih dari 30 tahun terakhir ini, hanya terdapat sedikit bukti yang menunjukkan adanya penurunan insiden dekubitus atau adanya suatu perbaikan dalam pengobatannya.
Massage merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah dekubitus, akan tetapi belum terbukti pengaruhnya bagi pencegahan penyakit tersebut.

Kecemasan Ibu Primipara

Selama dua dekade terakhir perhatian terhadap aspek psikis (ansietas) pada persalinan meningkat seperti halnya terhadap keadaan fisik. Tidak ada keraguan lagi bahwa aspek emosi pasien mempunyai pengaruh terhadap proses persalinan. Berbagai sumber ansietas antara lain adanya ketakutan yang pada bentuk lahirnya bisa tampak atau tersembunyi, ambivalensi (dua perasaan yang bertentangan) dalam bentuk permusuhan terhadap janin karena telah menyebabkan tubuhnya tidak sedap dipandang, tidak menyenangkan dan mengancam seksualitas atau keamanannya dan perasaan khawatir kehamilannya akan mengganggu hubungan pasien dengan suami, keluarga atau dokter.
Pasien hamil dengan ansietas cenderung melahirkan bayi yang lebih kecil. Pasien yang selama kehamilan mengalami ansietas, sering dihubungkan dengan meningkatnya kelainan kehamilan termasuk kematian janin dalam rahim. Menurut Thompson bahwa kejadian ansietas pada persalinan primigravida sekitar 67%, sedangkan Klein, Potter dan Dyk mengatakan bahwa kejadian ansietas mencapai 100%.Secara umum kejadian ansietas pada persalinan minimal terdapat pada 75% kasus.
Bukti-bukti di atas menunjukkan akan pentingnya suatu pendekatan yang efektif, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta di dukung oleh data yang akurat untuk mengatasi masalah kematian ibu dan bayi baru lahir. Pendekatan ini antara lain dengan melakukan penelitian mengenai hubungan kecemasan pada ibu yang dalam proses persalinan.

Dukungan keluarga Terhadap Ibu Primipara

Hidup sehat seorang calon manusia baru dimulai sejak terjadinya pembuahan, kehamilan sampai pada proses melahirkan. Meskipun masyarakat dan budaya kita telah banyak berubah sejak beberapa tahun terakhir, begitu pula cara-cara perawatan ibu pra dan pasca melahirkan berubah, namun proses melahirkan secara alami itu sendiri tidak berubah sejak dahulu. Tidak ada kelahiran yang lebih indah daripada kelahiran seorang bayi, namun tidak ada peran yang lebih baik daripada peran orang tua dan tentu juga bayi itu sendiri.
Bagi ibu yang melahirkan, masa sembilan bulan yang berakhir dengan lahirnya bayi, merupakan saat yang luar biasa, yang dinantikan sekaligus dicemaskan. Lamanya tinggal di rumah sakit setelah melahirkan berbeda-beda mulai dari satu atau dua hari setelah melahirkan melalui vagina kecuali jika ada alasan medis untuk tinggal lebih lama. Rentang waktu kehamilan, persalinan dan hari-hari pertama kehadiran bayi memperlihatkan beberapa tantangan. Hal yang biasanya mudah, kini penuh dengan ketidakpastian. Kadang-kadang banyak orangtua yang mengantisipasi kelahiran anaknya dengan kesenangan, sering mereka tidak mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi.
Laporan Badan Pusat StatiStik (BPS) tahun 2005 menyebutkan angka kematian ibu secara nasional sebesar 262 per 100 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi dari negara tetangga terdekat seperti Thailand (129/100 ribu), Malaysia (39/100 ribu) dan Singapura (6/100 ribu)
Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan antara lain oleh infeksi dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan kondisi kehamilan, pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir. Hal tersebut diatas salah satunya terjadi karena ibu belum siap menjadi orangtua..
Menurut Singgih, Kondisi fisik diartikan karena ketidaksiapan si ibu melakukan perawatan bayi tersebut, baik secara material maupun immaterial. Dari tinjauan mental misalnya perkawinan terlalu muda, tidak adanya kesepakatan dengan si ayah bayi, dan perwakinan terpaksa. Sedang faktor sosialnya karena lingkungan tidak menghendaki kehadiran bayi tersebut. Bisa jadi, karena perkawinan yang tidak disetujui orang tua atau lingkungan yang lebih besar dalam hal ini sosial budaya tidak bisa menerima bayi tersebut. Selama ibu menjalani kehamilan harus mendapat dukungan baik dari suami, orangtua dan orang-orang terdekatnya. Dukungan ini akan membuat ibu mendapatkan suasana nyaman, terutama menjelang kelahiran bayi dan untuk kesiapan ibu merawat bayi.

Kecemasan Orang Tua anak yang dirawat di RS

Hospitalisasi merupakan pengalaman penuh stres baik bagi anak maupun keluarganya. Stressor bagi keluarga dapat berupa rasa takut, cemas, bersalah, tidak percaya bila anak sakit, dan frustasi. Untuk mengatasi stres akibat hospitalisasi, maka perawat sebaiknya melakukan asuhan keperawatan secara comprehensive melalui pendekatan proses keperawatan, mulai dari pengkajian, diagnosis masalah, rencana tindakan, tindakan sampai evaluasi.
Dalam praktik keperawatan komunikasi sering digunakan pada aspek pemberian terapi pada klien, sehingga komunikasi banyak dikaitkan dengan istilah terapeutik atau dikenal dengan nama komunikasi terapeutik merupakan suatu cara untuk membina hubungan yang terapeutik yang diperlukan untuk pertukaran informasi dan perasaan, yang dapat mempengaruhi perilaku orang lain, mengingat keberhasilan tindakan keperawatan tergantung pada proses komunikasi.

Perawat di Pelayanan Kesehatan Jiwa

Keperawatan merupakan salah satu profesi yang turut mengusahakan tercapainya tujuan pembangunan kesehatan tersebut, maka keperawatan berupaya untuk memberikan pelayanan keperawatan dari yang bersifat kompleks kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan masalah kesehatan yang sering terjadi diberbagai tatanan kehidupan manusia.
Implementasi perkembangan keperawatan di Indonesia menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi di pengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat tekanan globalisasi juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional, juga semakin meningkatnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas.
Keperawatan jiwa sebagai bagian dari kesehatan jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Perawat jiwa dalam bekerja memberikan stimulus konstruktif kepada sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas). Dan membantu berespon secara konstruktif sehingga klien belajar cara penyelesaian masalah. Selain menggunakan diri sendiri secara terapeutik, perawat juga menggunakan terapi modalitas dan komunikasi terapeutik.
Hasil penelitian WHO-Dep.Kes pada tahun 1997 antara lain menyebutkan bahwa rata-rata lebih dari 70% perawat tidak mempersiapkan diri mereka sendiri secara adekuat dalam melakukan keterampilan klinik. Disamping itu lebih dari separuh perawat tidak pernah mengikuti pelatihan keperawatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir serta beban kerja perawat yang berlebihan dalam melaksanakan tugas-tugas rutin dan tambahan.